FIQIH HISAB RUKYAH VERSI MUHAMMADIYAH
A.
PENDAHULUAN
Perjalanan bulan yang berulang-ulang
menjadi data observasi yang sangat berharga dalam terciptanya sebuah
perhitungan maupun teori. Terlebih pada penentuan awal bulan Qamariyah yang
pada aplikasinya merupakan persoalan yang terkait dengan ibadah Umat Islam yang
memerlukan perhitungan yang benar dan akurat.
Kenyataan bahwa Umat Islam hingga
saat ini belum memiliki satu kalender hijriah internasional terpadu yang
menyatukan penanggalan hijriah di seluruh dunia. Yang ada adalah kalender
hijriah lokal yang berlaku pada negara, kawasan atau kelompok tertentu dan
tidak berlaku bagi negara, kawasan atau kelompok lain. Akibat paling mencolok
dari keadaan ini adalah bahwa Umat Islam tidak dapat menyatukan jatuhnya
hari-hari besar Islam seperti idul fitri dan idul adha.
Indonesia merupakan negara yang
memiliki sistem hisab paling bervariasi dalam hal penentuan awal bulan
Qamariyah. Hal ini ditandai dengan berbagai macam aliran yang mewarnai
pemikiran ilmu falak yang berkembang. Di antara sebagian aliran yang ada yaitu,
pertama, Aliran Rukyah dalam satu negara (Rukyatul hilal fi wilayatil hukmi).
Aliran ini berpegang pada hasil rukyah yang dilakukan setiap akhir bulan
(tanggal 29), jika berhasil merukyah hari esoknya sudah masuk tanggal satu,
sedangkan jika tidak berhasil maka harus diistikmalkan (disempurnakan 30 hari),
dan hisab hanya sebagai alat bantu dalam melakukan rukyah. Aliran ini dipegang
oleh Nahdlatul Ulama. Kedua, Aliran Hisab Wujudul Hilal, prinsipnya jika
menurut perhitungan (hisab) hilal sudah dinyatakan di atas ufuk, maka hari
esoknya sudah dapat ditetapkan sebagai tanggal satu tanpa harus menunggu hasil
rukyah. Aliran ini yang di pakai oleh Muhammadiyah. Ketiga, Aliran
imkanurrukyah, yakni penentuan awal bulan berdasarkan hisab dengan kriteria
tertentu yang memungkinkan untuk dilakukan rukyah. Aliran inilah yang dipegangi
Pemerintah.
Karena itulah dalam makalah ini kami akan sedikit mengupas tentang fiqih
hisab versi Muhammadiyah.
B.
RUMUSAN MASALAH
I.
Sekilas
sejarah Muhammadiyah
III.
Metode
penentuan bulan baru yang digunakan Muhammadiyah
IV.
Alasan
Muhammadiyyah hanya melakukan hisab tanpa ru’yah
C.
PEMBAHASAN
I.
Sekilas sejarah Muhammadiyah
Persyarikatan Muhammadiyah adalah sebuah organisasi kemasyarakatan
Islam tertua di Indonesia. Menurut Deliar Noer, Muhammadiyah merupakan salah
satu organisasi sosial Islam yang terpenting di Indonesia sebelum Perang Dunia
II dan mungkin juga sampai saat sekarang ini.[1]Organisasi
ini didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan
atas saran yang diajukan oleh murid-muridnya dan beberapa orang anggota Budi
Utomo[2]
untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat permanen.[3]
Namun dalam perjalanan sejarahnya sebagai organisasi
kemasyarakatan, Muhammadiyah tidak hanya menangani masalah pendidikan, tetapi
juga berbagai usaha pelayanan masyarakat seperti kesehatan pemberian hukum
(fatwa), panti asuhan, penyuluhan, dan lain-lain. Ini terbukti dengan
keberadaan Muhammadiyah yang mempunyai banyak majelis dan lembaga serta
organisasi otonomi yang menangani masalah-masalah sosial dan kemasyarakatan.[4]
Salah satu bagian penting dari Muhammadiyah adalah Majlis Tarjih.
Majelis ini didirikan atas dasar keputusan kongres Muhammadiyah di Pekalongan
pada tahun 1927 atas gagasan besar KH. Mas Mansur. Tokoh ini mengusulkan agar
dalam persyarikatan Muhammadiyah ada tiga majelis yakni Majlis Tarjih, Majlis Tanfidz,
dan Majelis Tsftisy. Usulan ini diterima secara aklasi oleh kongres. Untuk
tujuan itu, dibentuklah sebuah tim perumus yang beranggotakan KH. Mas Mansur
dari Surabaya, AR. Sutan Mansur dari maninjau, H. Muchtar dari Yogyakarta, H.A
Mukti dari Kudus, Karto Sudarno dari Jakarta, Muh.Kusni, dan M. Yunus Anis dari
Yogyakarta.[5]
Setahun kemudian, yaitu pada Muktamar Muhammadiyah ke-17 di
Yogyakarta dibentuk sebuah Majelis Tasyri dengan nama Majelis Tarjih. KH.
Mansur sendiri diangkat menjadi ketuanya.[6]
Dari namanya dapat dilihat bahwa majelis ini didirikan pertama kali untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan khilafiah yang pada waktu itu dianggap rawan
oleh Muhammadiyah. Majlis Tarjihlah yang menetapkan pendapat mana yang dianggap
paling kuat, untuk diamalkan Muhammadiyah sehingga istilahnya adalah Majlis
Tarjih. Hanya saja istilah tarjih di sini tidak sepenuhnya sama dengan istilah
tarjih dalam ilmu ushul fiqih. Dalam perkembangan selanjutnya, Majlis Tarjih
tidak sekedar mentarjihkan masalah-masalah khilafiah tetapi juga mengarah pada
penyelesaian persoalan-persoalan baru yang belum pernah dibahas sebelumnya.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak anggota Majlis Tarjih yang
menuntut agar Majlis Tarjih diubah namanya menjadi Majlis Ijtihad. Namun dengan
alasan kesejarahan, sampai saat ini nama Majlis Tarjih masih dipertahankan.[7]
Tentang aktivitas-aktivitas persidangan, Majlis Tarjih adakalanya
melakukan sidang bersamaan dengan Muktamar Muhammadiyah dan ada kalanya tidak
bersamaan, dengan pertimbangan yang diambil oleh pimpinan organisasi. Bila
tidak bersamaan dengan muktamar Muhammadiyah, maka ia disebut Muktamar Khususi.
Setelah Muktamar Muhammadiyah Banda Aceh 1995 istilah Muktamar Khususi tidak
dipakai lagi dan diganti dengan Musyawarah Nasional Majlis Tarjih.[8]
Di samping itu, Majlis Tarjih juga menyusun panduan menyangkut
bidang-bidang tertentu atas permintaan Muktamar Muhammadiyah, atau salah satu
majlis yang ada. Buku-buku ini di samping menjelaskan masalah-masalah yang
disusun, juga memutuskan masalah-masalah tersebut berdasarkan hukum islam. Dan
juga membentuk tim pengasuh rubrik tanya jawab agama yang beranggotakan
beberapa orang yang dipandang ahli dalam bidangnya, yakni dari Majlis Tarjih
dengan majalah Suara Muhammadiyah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan masyarakat kepada majalah ini. Keputusan tarjih Muhammadiyah itu
berasal dari berbagai sumber, yakni keputusan Muktamar Tarjih, keputusan Majlis
Tarjih dalam sidang-sidang khususnya dan keputusan tim Majlis Tarjih untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan masyarakat.[9]
Tokoh-tokoh
ahli ilmu falak Muhammadiyah
Dalam lingkungan Muhammadiyah, kajian ilmu falak syar’i dipelopori
oleh Ahmad Dahlan (w. 1923). Sepeninggal beliau, para Ulama Muhammadiyah terus
mengembangkan tradisi kefalakan sehingga muncul beberapa ulama yang memiliki keahlian
di bidang ini. Di antaranya adalah K.H. Ahmad Badawi (1902-1969)[10], Sa’doeddin Djambek (1911-1977)[11] yang banyak membawa pembaruan hisab di Indonesia, dan K.H.Wardan
Diponingrat (1911-1991)[12]
yang mempelopori hisab hakiki yang hingga kini dipakai dalam Muhammadiyah untuk
penentuan bulan Qamariyah. Sesudah mereka ini lahir pula ahli-ahli falak
pelanjut tokoh-tokoh di atas, yaitu H.M. Bidran Hadie (1925-1994)[13],
Ir. H.Basith Wahid (1925-2008)[14],
dan Drs. H. Abdur Rachim (1935-2004)[15].
Sesudah mereka ini lahir pula generasi baru ahli falak Muhammadiyah yang aktif
di Majlis Tarjih PP Muhammadiyah dan murid dari tokoh tersebut terakhir, antara
lain Drs. Oman Fathurohman, SW, M. Ag. (lahir 1957)[16],
Prof.Dr.H. Susiknan Azhari, MA (lahir 1968)[17],
dan Drs. H. Sriyatin Shodiq[18].
Masih banyak ahli falak Muhammadiyah di berbagai daerah yang tidak dapat
disebutkan satu persatu di sini. Dalam perjalanannya, Muhammadiyah telah
berperan aktif dan kreatif dalam mengembangkan ilmu hisab di Indonesia dan
dapat dikatakan sebagai pelopor penggunaan hisab untuk penentuan bulan
Qamariyah yang terkait dengan ibadah.
II.
Penyebab perbedaan antara mahzab Ru’yah dan Hisab
Akar dari lahirnya aliran mahzab dalam penentuan awal bulan
Qomariyah adalah perbedaan pemahaman terhadap hadist-hadist hisab ru’yah[19]Dimana
menurut penelitian syihabuddin al- Qalyubi, hadist-hadist hisab ru’yah
mengandung sepuluh sepuluh interpretasi yang beragam, diantaranya:
1.
Perintah
berpuasa berlaku atas semua orang yang melihat hilal dan tidak berlaku atas
orang yang tidak melihatnya.
2.
Melihat
di sini melalui mata. Karenanya, ia tidak berlaku atas orang buta.
3.
Ru’yah
secara ilmu bernilai mutawattir dan merupakan berita dari orang yang adil
4.
Nash
tersebut mengandung juga makna zhan sehingga mencakup
ramalan dalam nujum (astronomi)
5.
Ada
tuntutan puasa secara continyu jikaterhalang pandangan atas hilal manakala
sudah ada kepastian hilal sudah dapat di lihat.
6.
Ada
kemungkinan hilal sudah wujud sehingga wajib puasa, walau menurut ahli
astronomi belum ada kemungkinan hilal dapat di lhat.
7.
Perintah
hadist tersebut ditujukan kepada kaum muslimin secara menyeluruh. Namun
pelaksanaan ru’yah tidak diwajibkan kepada seluruhnya bahkan mungkin
perseorangan.
8.
Hadist
ini mengandung makna berbuka puasa.
9.
Rukyah
itu berlaku terhadap hilal romadhon dalam kewajiban puasa tidak untuk
iftharnya.
10.
Yang
menutup pandangan ditentukan hanya oleh endung bukan selainnya
Berawal dari perbedaan itu lahirlah 2 mahzab besar.[20]
Pertama,
Mazhab Ru’yah,
menurut mazhab ini penentuan awal dan akhir bulan ramadhan ditetapkan
berdasarkan Rukyah atau melihat bulan pada hari ke 29. Menurut mazhab ini term rukyah
pada hadist-hadist hisab ru’yah adalah bersifat ta’abudi-ghair
ma’qul al-ma’na. Artinya tidap dapat dirasionalkan pengertiannya, juga
tidak dapat diperluas maknannya dengan demikian, rukyah hanya diartikan sebatas
melihat dengan mata kepala.[21]
Mengenai ru’yah bil fi’li dengan menggunakan alat (nadzariyyah), para
ulama juga berbeda pendapat. Ibnu hajar misalnya, tidak mengesahkan penggunaan
cara pemantulan melalui permukaan kaca atau air.[22]
Al-Syarwani lebih jauh menjelaskan bahwa penggunaan alat yang mendekatkan atau
membesarkan seperti teleskop, air, ballur(benda yang berwarna putih seperti kaca)
masih dapat dianggap sebagai rukyah.[23]begiitu
juga Al-Muthi’i memboleh kan alat bantu.
Kedua,
Madzhab hisab,
penentuan awal dan akhir bulan qomariyyah berdasarkan perhitungan falak. Menurut mazhab ini, term rukyah
yang ada dalam hadist-hadist hisan ru’yah dinilai bersifat ta’aqquli—ma’qul
al-ma’na, maksudnya dapat di rasionalkan, diperluas dan di kembangkan.
Sehingga ia dapat diartikan ‘mengetahui’ sekalipunbersifat zhanni-dugaan kuat-
tentang adanya hilal, kendatipun hilal
menurut hisab falaki tidak mungkin dapat dilihat.[24]
III.
Metode penenntuan awal bulan qomariyyah yang digunakan muhammadiyah
Menurut Muhammadiyah ada empat cara atau metode untuk mengetahui
datang dan berakhirnya bulan Ramadhan, yang sekaligus merupakan sumber
pengetahuan seseorang tentang datang dan berakhirnya bulan Ramadhan. Keempat
cara tersebut adalah: pertama, terlihatnya hilal (rukyah), kedua, kesaksian
orang yang adil, ketiga, menyempurnakan bulan Sya’ban tiga puluh hari
(istikmal) apabila cuaca berawan atau mendung, keempat, hisab. Jika seseorang
melihat langsung hilal atau menerima kesaksian orang yang adil tentang
kesaksian orang yang adil tentang terlihatnya hilal, atau setelah
menyempurnakan umur bulan Sya’ban tiga puluh hari karena tidak dapat melihat
hilal, atau berdasarkan hisab, maka orang tersebut telah dianggap menyaksikan
atau mengetahui masuknya bulan Ramadhan. Dengan terpenuhinya salah satu saja,
apalagi kalau lebih dari satu, dari empat alternatif tersebut maka bulan
Ramadhan dinyatakan telah datang atau berakhir.
Alternatif pertama dan kedua hakekatnya sama yaitu terlihatnya
hilal. Perbedaan keduanya terletak pada langsung atau tidaknya pengetahuan
tentang datangnya bulan Ramadhan itu diperoleh dari sumber pertamanya. Pada
yang pertama pengetahuan itu diperoleh secara langsung dari sumber pertamanya.
Sedangkan pada yang kedua pengetahuan itu tidak langsung dari sumber pertamanya
akan tetapi dari sumber kedua dan seterusnya. Dengan demikian, yang pertama dan
yang kedua hakekatnya sama yaitu bahwa pengetahuan tentang datang dan
berakhirnya bulan Ramadhan diperoleh dengan terlihatnya hilal. Alternatif yang
ketiga sesungguhnya merupakan pengganti atau lebih tepat sebagai jalan keluar
dari alternatif pertama, karena gagal memperoleh pengetahuan tentang datangnya
dan berakhirnya bulan Ramadhan melalui sumber yang pertama. Dari sisi ini ia
termasuk pada jenis sumber yang pertama, akan tetapi substansinya adalah hisab,
karena jelas berupa perhitungan, yaitu menghitung umur bulan yang sedang
berlangsung 30 hari.
Alternatif keempat adalah hisab. Hisab ini sebagai sumber
pengetahuan tentang datang dan berakhirnya bulan Ramadhan, dan bukan merupakan
jalan keluar dari yang sebelumnya melainkan berdiri sendiri. Oleh karena itu,
pada dasarnya cara atau metode untuk mengetahui datang dan berakhirnya bulan
Ramadhan itu ada dua, yaitu pertama terlihatnya hilal (rukyah) dan kedua,
hisab. Keduanya diberlakukan baik untuk bulan Ramadhan maupun bulan-bulan
lainnya dalam tahun Qamariyah.[25]
Rukyah dan hisab sebagai metode untuk mengetahui datang dan
berakhirnya bulan Ramadhan dikukuhkan lagi dengan pernyataan “berpuasa dan
‘idul fitri itu dengan rukyah dan berhalangan dengan hisab”. Pernyataan yang
merupakan hasil keputusan Musyawarah Tarjih tahun 1932 ini menunjukkan bahwa
pada prinsipnya pengetahuan tentang datangnya bulan Ramadhan dan Syawal itu
diperoleh melalui rukyat. Akan tetapi rukyah bukan satu-satunya, sebab bisa
juga melalui hisab. Rukyah dan hisab masing-masing dapat berdiri sendiri
sebagai metode untuk mengetahui datangnya bulan Ramadhan dan Syawal.
Rukyah artinya melihat hilal pada saat terbenam Matahari, sedangkan
yang dimaksud dengan hisab adalah perhitungan mengenai posisi hilal.
Persoalannya sekarang adalah apa yang dimaksud dengan hilal itu. Secara
astronomis, hilal (crescent) itu adalah penampakkan bulan yang kecil yang
menghadap ke bumi. Keadaan ini dicapai beberapa
saat setelah ijtimak, karena saat itu sudut pandang Matahari dan Bulan
paling kecil. Bagi Muhammadiyah, debgan demikian, pertanda datangnya bulan baru
atau awal bulan Qamariyah itu adalah wujudnya hilal atau adanya hilal, dan
wujudnya hilal itu dapat diketahui baik melalui rukyah atau hisab, atau melalui
keduanya sekaligus. Kesimpulan ini diperoleh dari pernyataan yang
berbunyi”apabila ahli hisab menetapkan bahwa bulan belum wujud atau sudah wujud tetapi tidak mungkin
dilihat”pernyataan ini juga bahwa yang dimaksud dengan hisab atau perhitungan
posisi hilal itu adalah perhitungan tentang wujudnya hilal.
Adapun yang dimaksud dengan hilal sudah wujud, sebagaimana
dijelaskan di muka, adalah apabila Matahari terbenam lebih dahulu daripada terbenamnya
Bulan. Dengan demikian yang menandai awal bulan itu adalah wujudnya hilal yakni
pada saayt terbenam Matahari setelah terjadi ijtimak hilal belum terbenam.
Keadaan demikian dapat diketahui melalui rukyah maupun hisab. Rukyah dan hilal
merupakan sarana untuk mengetahui wujud atau tidaknya hilal. Sebagai sarana
antukmengetahui wujud atau tidaknya hilal kedudukannya sama.
Persoalan berikutnya adalah bagaimana kalau ternyata antara hasil
rukyah dengan hasil hisab tidak bersesuaian? Dimaksud dengan tidak bersesuaian
itu ada dua kemungkinan atau dapat terjadi dalam dua keadaan.
Pertama, menurut hisab
hilal belum wujud, artinya ketika terbenam Matahari bulan berada di ufuk, akan
tetapi ada yang berhasil rukyat. Dalam hal ini, Muhammadiyahmenetapkan bahwa hasil
hisab yang harus dijadikan pedoman.
Hal ini dibuktikan misalnya, dengan penolakan Muhammadiyah atas
hasil rukyah yang terjadi pada akhir Ramadhan tahun 1412, 1413. Saat menetapkan
awal bulan Syawal 1412 H/April 1992 M.dan awal bulan Syawal 1413 H/Maret 1993
M. Hisab yang dilakukan oleh Majlis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah
menunjukkan bahwa pada saat terbenam
Matahari hari jum’at tanggal 29 Ramadhan 1412 H/3 April 1992 M. Dan saat
terbenam Matahari Selasa tanggal 29 Ramadhan 1413 H/23 Maret 1993 M. Posisi
bulan negatif di bawah ufuk walaupun ijtimak terjadi beberapa jam sebelum
Matahari terbenam.
Namun pada saat itu ada yang melaporkan telah berhasil rukyah (melihat hilal), maka laporan
tersebut ditolak. Demikian pula yang terjadi pada hari Sabtu tanggal 29
Ramadhan 1414 H/12 Maret 1994 M. Untuk penetapan tanggal 1 Syawal 1414 H.
Kedua, menurut hisab
hilal sudah wujud, bahkan secara astronomis sudah termasuk mungkin dilihat,
namun ternyata tidak ada orang yang berhasil rukyat, maka wujudnya hilal ditetapkan
berdasarkan hasil hisab.
Kriteria Wujudul Hilal
Ragam kriteria untuk menentukan masuknya bulan baru Qamariyah
semakin berkembang dan masing-masing memperoleh pendukungnya. Para ahli hisab
di tanah air pun terbagi-bagi ke dalam kelompok-kelompok tertentu sesuai dengan
kecenderungan dalam memegangi kriteria awal bulan tersebut, sehingga nyaris menjadi aliran-aliran dalam penentuan
awal bulan Qamariyah. Muhammadiyah memilih wujudul hilal sebagai pedoman penentuan
awal bulan dengan kriteria :
a.
Ijtimak
terjadi sebelum terbenam Matahari
b.
Terbenam
Matahari lebih dulu dari terbenam Bulan
Dengan
perkataan lain, pada saat terbenam Matahari setelah terjadi ijtimak bulan sudah
di atas ufuk.
Berdasarkan kriteria di atas maka langkah yang di tempuh oleh
Muhammadiyah dalam hisabnya adalah:
1.
Menghitung
saat terjadinya ijtimak
2.
Menghitung
saat terbenam Matahari untuk suatu atau beberapa tempat tertentu
3.
Menghitung
tinggi hilal pada saat terbenam Matahari ditempat tertentu itu
Perhitungan tinggi hlal ini sebenarnya perhtungan posisi tepi
piringan atas Bulan relatif terhadap ufuk. Demikian,karena yang dipentingkan
adalah apakah Bulan sudah terbenam atau belum pada saat Matahari terbenam,
bukan tinggi hilal itu sendiri.
Dengan konsep wujudul hilal tersebut diatas, berarti ukuran yang
dijadikan pembatas terbenam itu adalah ufuk mar’i.[26]
IV.
Alasan muhammadiyah hanya menggunakan hisab tanpa rukyah
Argumen muhammadiyah dalam berpegang kepada hisab seperti yang
disampaikah prof.dr.syamsul anwar, M.A. berikut:
Pertama: semangat
al-Qur’an adalah menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat “matahari dan bulan
beredar menurut perhitungan” (QS. 55:5) ayat ini bukan sekedar meinformasikan
bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti, tetapijuga dorongan
untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS. Yunus(10) ayat 5 di
sebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan
waktu.
Kedua: jika spirit
al-Qur’an adalah hisab, mengapa rasulullah menggunakan ru’yah? Menurut rasyid
ridha dan mustafa az-zarqa, perintah melakukan ru’yah adalah perintah berillat
(beralasan) illatnya adalah karena ummat nabi saw adalah ummat yang ummi, tidak
kenal baca dan tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Ini di tegaskan
rasulullah SAWdalam hadist riwayat al-Bukhari dan Muslim, “sesungguhnya kami
adlah ummat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab.
Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan dan
kadang-kadang tiga puluh hari.” Dalam kaidah fiqhiya dalam kaidah fiqhiyyah, jika
illat tidak ada , maka perintah (unruk ru’yah) tidak berlaku lagi.
Ketiga: rukyah tidak
bisa menyatuka awal bulan islam secara global. Sebaliknya, rukyah memaksa umat
islam berbeda memulai awal bulan-bulan ibadah. Hal ini karna rukyah pada
vasibilitas pertama tidak meng-cover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama ada
permukaan bumi yang tidak dapat merukyat. Kawasan tidak normal, dimana tidak
melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya,
yaitu ketika bulantelah besar. Apalagi kawasan lingkaran artik dan lingkaran
antartika yang siang malam pada musim dingin melebihi 24 jam.[27]
D.
Kesimpulan
Dari berbagai keterangan di atas kita bisa mengambil kesimpulan
bahwa:
1.
Permasalahan
perbedaan penentuan awal bulan qomariyyah antara sesama muslim adalah
dikarenakan perbedaan mereka dalam memahami hadist-hadist hisab ru’yah.
2.
Baik
mahzab ru’yah maupuun hisab memiliki alasan mereka sendiri-sendiri dalam
mempertahannya pendapat mereka. jadi, alangkah baiknya kita jangan membuat
semuanya jadi sulit dengan saling ejek atau menuduh salah karna meskipun salah
dalam berijtihad tetap mendapatkan 1 pahala.
E.
Penutup
Kami beharap akan ada diskusi
menarik tentang masalah yang kami bahas ini sehingga kita bisa tahu lebih
banyak dari sebelumnya. Terima kasih atas perhatiannya dan kami mohon maaf atas
segala kekurangan yang anda temui di
makalah kami. Semoga bermanfaat.
Daftar Pustaka
al-Syarwani, Abdul hamid, Hasyiyah al-Syarwani, jilid III,
kairo: beirut, t.t
Izzuddin, Ahmad, Fiqih Hisab
Rukyah, Jakarta : Erlangga , 2007.
D.Q. Muchtar, Sejarah Majlis Tarjih, Jakarta : PP
Muhammadiyah, 1985.
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesi, Jakarta :
LP3ES, 1980.
Mukhlas, Imam, Filsafat Rukyah dan Hisab, surabaya : Bina
Ilmu, 1995.
Nur, Muhaimin, Pedoman Perhitungan Awal Qomariyah, Jakarta:
proyek pembinaan administrasi hukum dan peradilan agama, 1983
http//:kalsel.muhammadiyah.or.id/artikel-mengapa-muhammadiyah-memakai-sistem-hisab-dalam-penetapan-awal-bulan-qomariyah-detail-268.html
al-Haitami, Syihabbudin ahmad hajar, tuhfat al muhtaj, jilid
III, Kairo: beirut, t.t
[1] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di
Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1980, hlm. 84.
[2] Budi Utomo didirikan di Jakarta pada tanggal
20 Mei 1908 oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo dan beberapa
Orang pelajar sekalah dokter.
[3] Deliar Noer, loc.cit.
[4] Ahmad Izzuddin, fiqih hisab rukyah, erlangga
Jakarta 2007 hlm.112.
[5] Ibid, hlm 112
[6] D.Q. Muchtar, “Sejarah Majlis Tarjih”, dalam Beberapa Aspek Pedoman
Bertarjih, Jakarta: PP Muhammadiyah, 1985, hlm. 11-12
[7] Ahmad Izzuddin, op.cit, hal.113.
[8] Ibid, hlm.115
[9] Ibid, hlm .115-116.
[10] Jabatan terakhir di Muhammadiyah adalah
sebagai Ketua pimpinan pusat Muhammadiyah periode 1962-
1965 dan 1965-1968,
serta sebagai penasehat PP Muhammadiyah 1969-1971, namun beliau telah wafat
1969 sebelum masa
jabatannya sebagai PP Muhammadiyah berakhir,
dan dari tangannya lahir beberapa
Karya menyangkut hisab
antara lain hisab haqiqi, dan gerhana Bulan
[11] Jabatan dalam Muhammadiyah yang pernah di
duduki antara lain Dekan FKIP Universitas Muhammadiyah
Jakarta 1959-1962,Rektor
IKIP Muhammadiyah 1969-1074,dan Ketua Majlis Pendidikan dan Pengajaran di
Di Jakarta 1969-1973,
menulis beberapa tentang karya ilmu Falakantara lain hisab awal Bulan Qamariyah
(1976)
[12] Jabatan terakhir dalam Muhammadiyah adalah
sebagai ketua majelis tarjih yang diduduki selama enam kali
Masa jabatan dari tahun
1963 hingga 1985, meninggal 1991. Dari tangan beliau lahir beberapa karya
Tentang ilmu falak
antara lain Persoalan Hisab dan Rukyah dalam Menentukan Permulaan Bulan, Hisab
Urfi
Dan Hakiki dan beberapa
lainnya.
[13] Jabatan dalam
kaitan dengan hisab yang diduduki adalah anggota bagian hisab PP Muhammadiyah,
dan
Anggota bagian Hisab
dan Rukyah Departemen Agama mewakili Muhammadiyah.
[14] Jabatan dalam Muhammadiyah antara lain Ketua
Bagian Hisab PP Muhammadiyah dan Wakil
Muhammadiyah pada
Bagian Hisab dan Rukyah Departemen Agama. Beliau banyak menulis artikel terkait
Masalah Hisab dan falak
antara lain “Memahami Hisab sebagai Alternatif Rukyah” penentuan Awal Bulan
Hijriah”.
[15] Ahli Tafsir dan Falak, jabatan terakhir
adalah anggota Majlis Tarjih PP Muhammadiyah, dan Wakil Ketua
Badan Hisab dan Rukyah
Departemen Agama, beberapa kali menghadiri konferensi Internasional
Tentang Hisab dan banyak
menulis tentang ilmu falak antara lain Buku Ilmu Falak (1983 dan 2004).
[16] Jabatan terakhir dalam Muhammadiyah adalah
Wakil Ketua Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah
(2005-2010), banyak
terlibat dalam kegiatan Hisab dan Rukyah seperti memberikan pelatihan dan
menjadi
Narasumber seminar
hisab, menulis beberapa karya antara lain “Pendekatan terpadu dalam Ijtihad
Majlis
Tarjih Muhammadiyah :
Masalah Penetapan Bulan Qamariyah”.
[17] Jabatan terakhir dalam Muhammadiyah adalah Wakil Sekretaris
Majelis Tarjih dan Tajdid PP
Muhammadiyah
(2005-2010), dan sekaligus Ketua Divisi hisab Majlis Tarjih dan Tajdid, banyak
menulis
Terkait hisab dan falak
antara lain buku Hisab dan Rukyah Membangun Wacana Kebersamaan di Tengah
Perbedaan (2007) dan
Ensiklopedi Hisab Rukyah (2005 dan 2008).
[18] Jabatan terakhir dalam Muhammadiyah adalah
anggota Divisi Hisab Majlis Tarjih dan Tajdid PP
Muhammadiyah (2005-2010), banyak terlibat dalam kegiatan hisab dan
rukyah seperti memberikan
Pelatihan dan menjadi
narasumber seminar hisab serta banyak membuat softwarehisab-rukyat
Termasuk untuk majelis
Tarjih dan Tajdid.
[19] Di
antaranyayaitu hadist riwayat Abu Daud dan Aisyah R.A. :” Nabi sangat
memerhatikan (akhir) bulan Sya’ban melebihi
(hilal) Ramadhan. Apabila hilal terhalang awan, beliau menghitung
bilangan bulan menjadi 30 hari. Selanjutnya Ia berpuasa.” Lihat Abu Husein
Muslim bin Al-Hajjaj, shahih muslim, kairo: dar al-fikr,t.t, hlm .481
[20] Muhaimin Nur, pedoman
perhitungan awal bulan qomariyah, jakarta: proyek pembinaan administrasi
hukum dan peradilan agama, 1983, hlm.7 dan juga imam Mukhlas, filsafat
rukyah dan hisab, dalam ‘menuju kesatuan hari raya’, surabaya: Bina Ilmu,
1995, hlm.29
[21] Ahmad
izzuddin, fiqh hisab ru’yah, jakarta: erlangga, hlm.4
[22] Syihabbudin
ahmad hajar al-haitami, tuhfat al muhtaj, jilid III, kairo: beirut, t.t,
hlm 382
[23] Abdul hamid
al-syarwani, hasyiyah al-syarwani, jilid III, kairo: beirut, t.t, hlm
332
[24] Ahmad
izzuddin, op.cit, hlm.4
[25] Disampaikan dalam Seminar Nasional Penentuan
Awal Bulan Qamariyah di Indonesia:
Merajut Ukhuwah di Tengah
Perbedaan yang diselenggarakan oleh Majlis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat
Muhammadiyah pada tanggal
29 Dzulqa’dah -2 Dzulhijjah1429 H/ 27-30 Oktober 2008 di Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta,
JL.Lingkar Barat Taman Tirto Kasihan Bantul Yogyakarta.
[27] Situs resmi muhammadiyyah
http//:kalsel.muhammadiyah.or.id/artikel-mengapa-muhammadiyah-memakai-sistem-hisab-dalam-penetapan-awal-bulan-qomariyah-detail-268.html/
dikutip pada tgl 2/11/2012
Pada pukul 06.58
1 komentar:
assalamualaikum wr wb
menyimak paparan di atas tampak lah tidak sempurnanya penghayatan ilmu teknologi sehingga merubah sisi pandang umat islam dalam hal menentukan awal dan akhir pengamalan puasa ramadan.
sudah jelas kata kuncinya tampaknya hilal, tentu ilmu teknologi dapat menggambarkan kapan hilal itu terujut/ada di lihat dari bumi.
jarak matahari ke bumi dan bulan serta besarnya bumi dan bulan sudah diketahui, tentu bisa pula di simulasikan geraknya yang bersekala dan di cerna dengan ilmu fisika, maka terlihatlah kapan hilal itu terbentuk(ujud) di lihat dari bumi, hilal itu akan ujud apabila posisi bulan tertinggal atau mendahului matahari 20 derajat lebih..
makanya titik nol rotasi bulan terhadap bumi menurut ilmu agama bukan pada ijtimak(kunjungsi) untuk lebih jelasnya silahkan baca di rotasibulan.blogspot.com
tesesat di ujung jalan kembalilah ke pangkal jalan, pangkalnya ada hadist rasullulah saw di Kitab Insanul Uyun Juz III Karangan Syekh Nuruddin. terimakasih