selamat datang di blog pribadi yang sangat sederhanana ini. saran dan masukannya saya sangat berharap dari para pengunjung yang merelakan sedikit waktunya hanya untuk melihat-lihat blog ini

makalah tarikh tasri'



TARIKH TASYRI’ PADA MASA BANI ABBASIYAH
Makalah ini disusun guna memenuhi Tugas
TARIKH TASRI’
Dosen Pengampu : Drs. H. Maksun, M.Ag.



 







Oleh :
  1. Rizalludin                                            NIM : 122111117
  2. Tubagus Mansur                                  NIM :122111012


PROGRAM STUDI  ILMU FALAK
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI IAIN WALISONGO
SEMARANG
2014

I.                   Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Setelah kekuasaan ‘Umayyah berakhir, kendali pemerintahan Islam selanjutnya dipegang oleh Dinasti Abbasiyah. Berbeda dengan Fase sebelumnya yang ditandai dengan perluasan wilayah, fase ini ditandai dengan perkembangan Ilmu pengetahuan yang pengaruhnya masih dapat dibuktikan sampai saat ini.
Fase ini, dalam sejarah hukum Islam, dikenal sebagai fase keemasan. Khudlari Byk (t.th:4-5) menyebutnya sebagai fase fiqh menjadi ilmu yang mandiri; T.M. Hasbi ash-Shiddiqi (1967:31-32) menyebutnya sebagai fase kesempurnaan.[1]
B.     Rumusan Masalah
Adapun pokok-pokok bahasan pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Perkembangan dan kondisi hukum islam pada masa Abbasiyyah;
2.      Kodifikasi ilmu pengetahuan;
3.      Sejarah dan latar belakang pembentukan madzhab;
4.      Madzhab yang terlupakan.

II.                Pembahasan
1.      Perkembangan dan Kondisi Hukum Islam Pada Masa Abbasiyyah
Kekuasaan dinasti Bani Abbas atau khilafah Abbasiyah, sebagaimana disebutkan melanjutkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah Al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750M) s.d 656 H (1258M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda – beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahn Bani Abbasiyah menjadi lima periode :
a.       Periode Pertama ( 132 H/750 M – 232 H/847 M ), disebut pengaruh Persia pertama.
  1. Periode Kedua ( 232 H/847 M – 334 H/945 M ), disebut masa pengaruh Turki pertama.
  2. Periode Ketiga ( 334 H/945 M – 447 H/1055 M ), disebut pengaruh Persia kedua.
  3. Periode Keempat ( 447 H/1055 M – 590 H/1194 M ), disebut pengaruh Turki kedua.
  4. Periode Kelima ( 590 H/1194 M – 656 H/1258 M ), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.[2]
Untuk periode keemasan tasyri’ Islami itu terjadi pada abad kedua Hijriyah dan berakhir sampai abad keempat Hijriyah atau hampir 250 tahun.
Periode ini disebut juga sebagai periode penghimpunan dan Ulama – ulama mujtahidin, karena selama periode ini lahirlah gerakan aktifitas penulisan dan penghimpunan, maka berhasil di himpun : As Sunnah, Fatwa-fatwa Sahabat ahli fatwa, fatwa-fatwa Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in, dan berhasil disusun tafsir-tafsir Al Qur’an yang luas, dan fiqh Ulama – ulama mujtahidin, dan juga berbagai risalah tentang ushul fiqh. Dan karena hasil-hasil karya sejumlah besar ulama – ulama mujtahidin dan pembentuk hukum lahir dalam masa ini. Serta bangkitlah di kalangan mereka semangat pembentukan hukum, yang mempunyai pengaruh abadi terhadap perundang-undangan dan istinbath hukum terhadap hal-hal yang terjadi, dan perkara-perkara yang dimungkinkan terjadi.[3]
2.      Kodifikasi Ilmu Pengetahuan
Puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri. Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan misalnya, di awal islam lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat.
Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas karena di samping terdapat kitab-kitab, disana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi.
Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak masa Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Di samping itu, kemajuan itu paling tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu :
a.       Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan.
  1. Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah Al-Manshur hingga Harun Al-Rasyid. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-ma’mun hingga tahun 300 H. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H.
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran pertama, tafsir bi al-ma’tsur, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra’yi, yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran daripada hadis dan para sahabat. Kedua metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al-ra’yi sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqih dan terutama dalam ilmu teologi. Perkembangan logika di kalangan umat islam sangat mempengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut.[4]
Faktor utama yang mendorong perkembangan hukum Islam adalah berkembangnya ilmu pengetahuan di dunia Islam. Berkembang pesatnya ilmu pengetahuan di dunia Islam disebabkan oleh hal-hal berikut :
1)      Banyaknya mawali yang masuk Islam
Sebagian orang yang daerahnya dikuasai umat Islam menjadi penganut agama Islam. Kemudian mereka belajar agama Islam di bawah bimbingan para imam. Di bawah pemerintahan Harun al-Rasyid, dimulailah penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab. Pada awalnya, upaya penerjemahan di utamakan pada buku-buku kedokteran, tetapi kemudian dipelajari pula buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat.
2)      Berkembangnya pemikiran karena luasnya ilmu pengetahuan
Dalam bidang ilmu kalam terjadi perdebatan, setiap kelompok memiliki cara berfikir tersendiri dalam memahami akidah Islam. Selain itu, saat itu terjadi pula pertarungan pemikiran antara mutakallimin, muhadditsin, dan fuqaha.
3)      Adanya upaya umat Islam untuk melestarikan al-Qur’an dengan dua cara, yaitu dicatat (dikumpulkan dalam mushaf) dan dihafal.[5]
3.      Sejarah dan latar belakang pembentukan madzhab
Proses lahirnya madzhab adalah usaha para pengikut atau pendukung untuk menyebarkan hasil ijtihad imamnya. Penyebaran ini dilakukan dengan metode lisan dan juga tulis (pembukuan fiqih). Kemudian, pengikut hasil ijtihad itu semakin banyak, membentuk suatu komunitas dan disebutlah komunitas tersebut bermadzhab imam ini dan itu.
Jika dilihat dalam sejarah tasyri Islam, madzhab lahir dari perjalanan yang cukup panjang. Dimulai dari para sahabat Nabi saw yang fokus pada ilmu dan hukum, sampai kepada para tabiin di setiap daerah-daerah. Pada masa tabi’in dan imam-imam mujtahid, muncul sederetan ulama dalam jumlah yang cukup banyak. Berbagai kawasan (negeri) Islam dipenuhi dengan ilmu dan ulama. Banyak diantara mereka yang mencapai tingkatan mujtahid mutlak. Sebagian ulama terbaik itu membuat metode yang digunakan untuk mengenal hukum-hukum.
Akhirnya masing-masing mempunyai murid dan pengikut yang mengikuti metodenya. Metode ini yang kemudian dinamakan madzhab. Di Madinah misalnya, banyak nama Tabiin yang memiliki perhatian besar terhadap hukum dan ilmu pengetahuan. Misalnya, Said bin Musayyab, Urwah bin Zubair, Salim Ibnu Abdillah, Nafi maula Ibnu Umar, Ibnu Syihab az-Zuhri dan lainnya. Di Makkah, tersebut nama besar seperti Ibnu Abbas Mujahid ibn Jabir, Ikrimah dan lainnya.
Demikian juga kita temukan nama besar di Kufah dan Bashrah seperti ‘Alqamah bin Qais, Anas bin Malik, Qatadah ibn Da’aman dan nama besar lainnya. Maka tidak heran kalau dalam literature hukum Islam terdapat istilah madzhab Aisyah, madzhab Ibn Mas’ud, dan madzhab tabiin lainnya.
Para pemilik nama besar inilah yang sangat berjasa mengembangkan kegiatan ilmiah dan dengan pegajaran yang mereka lakukan mendorong munculnya generasi-generasi baru yang focus pada masalah hukum. Generasi baru ini melakukan ijtihad dan istinbath hukum sesuai kebutuhan masyarakat sekitar. Mereka menyebarkan hasil ijtihadnya, menulis dan menjadi rujukan hukum bagi yang memerlukan. [6]
Menurut Thaha Jabir al-Ulwani generasi baru ini berjumlah 13 aliran. Namun, tidak semua aliran itu dapat diketahui dasar-dasar dan metode istinbath hukumnya.
Adapun diantara pendiri 13 aliran itu adalah sebagai berikut:
a.       Sufyan bin Uyaynah (w. 198 H) di Makkah
b.      Malik bin Anas (w. 179 H) di Madinah
c.       Hasan al-Bashri (w. 110) di Bashrah
d.      Abu Hanifah (w. 150 H) di Kufah
e.       Sufyan al-Tsauri (w. 160 H) di Kufah
f.       al-Auzai (w. 157 H) di Syam
g.      Abdullah bin Idris as-Syafii (w. 204 H) di Mesir
h.      al-Laits bin Saad (w. 175 H) di Mesir
i.        Ishaq bin Ruhawaih (w. 238 H) di Naisabur
j.        Abu Tsaur (w. 240 H) di Baghdad
k.      Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) di Baghdad
l.         Daud adz-Dzhahiri (w. 270) di Baghdad
m.     Ibn Jarir at-Thabari (w. 310) di Baghdad. (Mun’im Sirri, 1995:79-80)[7]
Ketiga belas aliran ini pada akhirnya membentuk madzhab-madzhab tersendiri. Mereka memiliki buku rujukan, memiliki metode istinbat dan pengikut di masing-masing daerah. Ketiga belas madzhab ini digolongkan pada komunitas Sunni.[8]
Aliran hukum Islam yang masih terkenal dan masih ada pengikutnya hingga kini hanya beberapa, di antaranya Hanafiah, Malikiah, Syafi’iah, dan Hanabilah.
1)      Aliran Hanafi
Aliran ini didirikan oleh Abu Hanifah, yang nama lengkapnya adalah al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zuthi (80-150 H). Secara politik, Abu Hanifah hidup dalam dua generasi. Ia dilahirkan di Kufah pada tahun 80 H; artinya ia lahir pada zaman Dinasti Umayya, tepatnya pada zaman kekuasaan Abd al-Malik ibn Marwan (Manna’ al-Qaththan, 1989:202). Beliau meninggal pada zaman kekuasaan Abbasiah. Ia hidup selama 52 tahun pada zaman Umayyah dan 18 tahun pada zaman Abbasiah (Ahmad Amin, II, t.th:177;Muhammad Abu Zahrah,t.th:166).[9] Madzhab ini yang pertama muncul dan di kalangan Madzhab Sunni terkenal dengan madzhab yang sangat banyak mempergunakan ra’yu.[10]
Abu Hanifah, yang mendirikan mazhab ini, menyatakan, bahwa ia mendasarkan hukum-hukum yang ditetapkan, pertama-tama kepada Kitabullah, jika tidak diperolehnya disana, kepada Sunnah Rasul, terutama kepada Hadis-Hadis Nabi yang masyhur, kemudian barulah ia memilih mana yang ia suka dari pada ucapan-ucapan sahabat, pertamatama yang bersamaan antara beberapa orang mereka, dan kemudian juga meskipun kepada ucapan seorang sahabat saja. Ia berijtihad, jika ia sudah gagal mencari salah satu pendirian dari pada ucapan Ibrahim An-Nukhai, Asy-Syubi, Ibn Sirin, Al-Hasan dan Ibn Musayyad, barulah ia berasa dirinya berhak berijtihad memutuskan sesuatu hukum. Acapkali Abu Hanifah menerima Hadis yang masyhur, jika ia menganggap, bahwa yang demikian itu lebih baik, lalu dinamakan Istihsan.[11]
Diantara imam-imam mujtahid mutlak, Abu Hanifahlah yang paling banyak mempergunakan qiyas dan istihsan.[12]
Maka dengan demikian dasar pendirian mazhab Abu Hanifah ialah : 1. Kitabullah atau Qur'an, 2. As-Sunnah, 3. Al-Ijma', 4. Al- Qiyas, dan 5. Al-Istihsan.[13]
Sesudah tahun 786 mulai Mazhab Hanafi dikenal orang di Mesir, karena pada waktu itu telah diangkat oleh Khalifah Al-Mahdi seorang Qadhi Hanafi disana, yaitu Ismail bin Yasa' Al-Kufi. Dialah yang mula-mula mengembangkan mazhab Hanafi disana, terutama selama kerajaan Islam berada dalam kekuasaan Khalifah-Khalifah Abbasiyah, berangsur-angsur mazhab ini berkembang dikota Mesir.
Tatkala Mesir dikuasai oleh raja-raja Fathimiyah, masuk pula kesana mazhab ini tersiar karenanya, tetapi juga kedudukan qadhi dipengaruhi oleh mazhab itu. Malah pernah mazhab Syi'ah itu menjadi mazhab kerajaan dengan resmi. Yang dijalankan oleh Pemerintah waktu itu hukum-hukum mazhab ini, kecuali dalam soal-soal ibadah, masih bebas menjalankannya menurut cara masing-masing.
Sebaliknya sesudah pemerintah Mesir kembali kedalam tangan (Ayyubi), yang sulthan-sulthannya bermazhab Syafi'i, lalu mereka tindas mazhab Syi'ah itu dengan segala aliran-aliran yang berbau Syi'ah. Tidak hanya sekian saja, malah mereka mendirikan beberapa banyak sekolahan untuk ulama-ulama mazhab Syafi'i dan Maliki.
Salahuddin Al-Ayyubi mendirikan di Cairo sebuah sekolah untuk mazhab Hanafi, bernama Madrasah As-Salahiyah. Sejak ketika itu bertambah kuatlah kedudukan mazhab ini ditengah-tengah kota Cairo.
Pada tahun 1263 oleh Najamuddin Ayyub disusun pelajaran-pelajaran empat, yaitu Syafi'i, Hanafi, Maliki dan Hambali, sebagai tindakan untuk membasmi segala aliran-aliran mazhab yang lain. Rancangan pelajaran ini berjalan dengan baik dalam Madrasah Salahiyah di Cairo.
Setelah Mesir jatuh kedalam kekuasaan kerajaan Turki, maka kedudukan qadhi dan kehakiman tetap kembali dalam tangan pemeluk mazhab Hanafi. Karena mazhab Hanafi telah menjadi mazhab yang resmi dari kerajaan (Usmaniyah) Turki dan pembesar-pembesarnya, lalu timbullah keinginan kebanyakan penduduk hendak menjadi Hanafi, supaya mudah mendapat pangkat qadhi. Meskipun begitu mazhab ini tidaklah demikian tersebar kedesa-desa dan kehulu-hulu Mesir, tetapi terbatas didalam kota saja. Begitu corak daerahnya, penduduk desa hulu Mesir tetap bermazhab Syafi'i.
Mazhab Hanafi ini terdapat juga di Algeria, Tunisia dan Trablus (Tripoli). Selanjutnya pemeluknya banyak terdapat di Syam, Iraq, India, Afganistan, Turkestan, Kaukasus, Turki, Balkan. Pengikutnya di India ditaksir kira-kira 48 milyun jiwa, di Brazilia (Amerika Selatan) terdapat kira-kira 25 ribu jiwa.[14]
2)      Aliran Maliki
Kelahiran Imam Malik (93-179 H.)
Malikiah adalah aliran hukum Islam yang didirikan oleh Imam Malik, yang nama lengkapnya adalah Malik ibn Anas ibn Abi “amar al-Ashbahi. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H. Tidak berbeda dengan Abu Hanifah, beliau juga termasuk ulama dua zaman. Ia lahir pada zaman Bani ‘Umayyah, tepatnya pada zaman pemerintahan al-Walid ‘Abd al-Malik (sete;ah Umar Ibn ‘Abd al-Aziz), dan meninggal pada zaman Bani Abbas, tepatnya pada zaman Harun al-Rasyid (wafat tahun 179 H.). ia sempat merasakan masa pemerintahan Umayyah selama 40 Tahun, dan masa pemerintahan Bani Abbas selama 46 tahun.[15]
Berbeda sekali pendirian Abu Hanifah ini dengan pendirian Malik bin Anas, yang menyusun dasar-dasar untuk penetapan hukum sebagai berikut : Nas Al-Qur'an, Zahir Al-Qur'an, mafhum pengertiannya yang cocok, dan dalil yang tidak cocok, Tanbih Al-Qur'an Nas Al-Hadis, Zahir Al-Hadis, Mafhum Al-Hadis, Dalil Al-Hadis, Tanbih Al-Hadis, Ijma, Qiyas, pekerjaan ulama Madinah, ucapanucapan sahabat, istihsan, upaya menutup keburukan memelihara akhlak, istihsan maslahatul mursalah dan syariat umat-umat yang terdahulu.[16]
Kita lihat, bahwa Imam Malik ini mempunyai luas sekali dasar penetapan sesuatu hukum untuk mazhabnya. Yang demikian itu karena ia di Madinah dan Mekkah dengan mudah ia mencari keterangan-keterangan mengenai Al-Qur'an dan Sunnah, karena dengan masanya masih terdapat banyak sahabat terkumpul dan masih hidup disana.
Menurut Prof. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, perbedaan mazhab Maliki dengan mazhab-mazhab yang lain ialah bahwa Imam Malik menjadikan amal orang-orang Madinah jadi hujjah hukum fiqhnya, karena pada pendapatnya orang-orang di Madinah itu bersih mengerjakan amal ibadat sebagaimana yang dilihat pada Nabi dan sahabatsahabat serta orang-orang Islam sekitar kota suci itu. Ia mendahukan amal orang Madinah itu dari pada qiyas dan dari pada Hadis yang hanya diriwayatkan oleh seseorang rawi saja, yang biasa dinamakan khabar uhad. Ulama-ulama fiqh yang lain tidak ada yang menjadikan amal orang-orang Madinah itu menjadi hujjah agama.
Perbedaan yang lain pada Malik bin Anas ini kita dapati dalam dasar penetapan hukumnya, yang dinamakan maslahatul mursalah, yang artinya menurut Hasan Sya'ab dalam karangannya tersebut diatas ialah membina sesuatu hukum atas dasar kemashlahatan umum (104), seperti membolehkan orang memukul pencuri agar ia mengaku kesalahannya. Ulama lain tidak membolehkan pekerjaan itu. Lain daripada itu Imam Malik juga menjadikan hujjah hukum fatwa-fatwa sahabat besar, manakala sanad riwayatnya itu sab, bahkan mendahulukan fatwa-fatwa itu atas qiyas. Pekerjaannya ini sangat mendapat bantahan dari Imam Al-Ghazali, sebagaimana tsb. dalam kitab Al-Mustasyfa.
Seperkara lagi yang agak berlainan pendirian Malik bin Anas ini dengan ulama lain, terutama ulama-ulama Hanafi, ialah bahwa ia tidak menjadikan syarat baik sesuatu hadis dengan sifatnya masyhur, bahkan ia acap kali menggunakan juga istihsan sebagai Abu Hanifah dan mengutamakan riwayat Hadis dari penduduk Hejaz.
Malik bin Anas, yang membentuk Mazhab Maliki, hidup di Madinah antara tahun 710 — 795. Disitu ia belajar dan disitu pula ia mengajar. Beberapa lama ia menjabat pekerjaan Mufti dan ahli hukum Islam.
Pemeluknya sekarang terutama terdapat di Afrika Utara (kecuali Mesir) dan Afrika Tengah. Yang terutama dipelajari orang sebagai kitab Maliki ialah kitab-kitab „Mudawana", karangan Ibnul Qasim (mgl. 806) dan „Mukhtasar", karangan Khali Ibn Ishab (mgl. 1365).
Diantara orang-orang yang mula-mula memperkenalkan kitabkitab fiqh mazhab Imam Malik di Mesir kita sebutkan Usman bin Hakam Al-Jazami, Abdurrahman bin Khalid bin Yazid bin Yahya, Ibn Wahab dan Rasyid bin Sa'ad, yang meninggal di Alexandria pada tahun 786. Diantara yang giat sekali menyiarkannya kita sebutkan Abdurrahman bin Qasim, Ashad bin Abdul Aziz, Ibnul Hakam dan Haris bin Miskin.[17]
3)      Aliran Syafi’i
Kelahiran Imam Al-Syafi’i (150-204 H.)
Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Muhammad ibn Idris ibn al-‘Abbas ibn Utsman ibn Syafi’i ibn al-Sa’ib ibn ‘Ubaid ibn ‘Abd Yazid ibn Hasyim ibn ‘Abd al-Muthalib ibn ‘abd manaf. Ia dilahirkan di Gazza (suatu daerah dekat Palestina) pada tahun 150 H., kemudian dibawa oleh ibunya ke Mekah. Ia meninggal di Mesir pada tahun 204 H.[18]
Imam Syafi'i adalah seorang Mjitahid yang sangat banyak pengalamannya mengenai cara menulis Fiqh di Iraq, di Hejaz dan kemudian di Mesir. Mazhab Syafi'i itu terletak diantara dua paham yang sangat berlainan, yaitu Mazhab Abu Hanifah, yang banyak menggunakan akal, dan Mazhab Malik bin Anas yang banyak menggunakan nash.
Sumber madzhab Syafi’i adalah Al-Qur’an al-Karim, Hadits yang sahih menurut pandangan beliau. (hadits sahih mutawatir, hadits shahih ahad, hadis shahih masyhur), Ijma’ para Mujtahid dan Qiyas.[19]
Mazhab Syafi'i di Iraq biasa dinamankan Mazhab Qadim, dan Mazhab Syafi'i di Mesir, biasa disebut orang Mazhab Jadid. Mereka yang berguru kepadanya di Iraq adalah Az-Za'farani, Al-Karabisi, Abu Tsaur, Ibn Hanbal, Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam Al-Lughawi, sedang pengikutnya di Mesir yang terkenal ialah Al-Buwaithi, Al-Majani, Ar-Rabi' Al-Muradi.[20]
Mazhab Syafi'i menurut jalan hukum dapat dikatakan kedudukannya antara paham Mazhab Maliki dan Mazhab Hanafi, jadi antara pemeluk tradisionil dan rasionil dalam memahamkan Qur'an dan Hadis.
Pada masa ini yang paling banyak terdapat pemeluk Mazhab Syafi'i itu ialah di Mesir, Syria, beberapa bahagian tanah Arab dan seluluruh Indonesia. Dahulu lebih luas lagi daerahnya, tetapi dalam waktu yang akhir ini banya terdesak oleh paham Mazhab Hanafi.
Terutama sesudah tahun 922 M. sangat cepat kelihatan kemajuan Mazhab ini di Mesir, di Iraq, Khorasan, Daghistan, Tauran, Syam, Yaman, diaderah-daerah sungai Saihun Jaihun, Persia, Hijaz, India, sebagian dari Afrika dan Spanyol.
Pada mumnya dewasa ini penduduk Mesir itu bermazhab Syafi'i Perimbangannya dapat kita lihat dalam Azhar yaitu Perguruan Islam Tinggi di Cairo didirikan dalam tahun 969 oleh Gubernur Jauhar.
Sejak tahun 1759 sampai tahun 1909 yang menjadi Syeikh Al-Azhar adalah ulama-ulama Syafi'i. Setelah itu barulah diganti oleh seorang Hanafi, yaitu Syeikh Muhammad Al-Mahdil Al-abbasi.
Selanjutnya tidaklah ada ketentuan yang khusus kepada sesuatu mazhab. tetapi jabatan Syeikh Al-Azhar itu belum pernah dipegang oleh Mazhab Hambali, karena Mazhab im sedikit sekali pemeluknya di Mesir.
Kemudian jabatan Syeikh Al-Azhar itu kembali lagi kepada Mazhab Syafi'i, yaitu sejak Mahaguru Muhammad Al-Ahmadi menjadi Syeikh ,,Al-Jami" Al-Azhar.
Yang mula-mula menyiarkan Mazhab Syafi'i dinegeri Damaskus ialah Abu Zur'ah Muhammad bin Usman (wafat 826 M) sehingga mazhab itu berpengaruh disana. Yang terkenal juga namanya dalam mengembangkan aliran itu disana, ialah Muhammad bin Ismail Al- Qaffal Al-Kabir (wafat 987). Demikianlah majunya mazhab ini di Baghdad disiarkan oleh Hasan bin Muhammad Al-Za'farani (wafat 860), sehingga hampir bersaingan dengan Hanafi. Di Marw mazhab ini disiarkan oleh Ahmad bin Saiyar dan Hafiz Abdullah bin Muhammad.
Penyiar di Ghazna dan Khorasan ialah Wajihuddin Abul Fatah Al-Maruzini dan Abu Uwanah Ya'qub ibn Ishak An-Nisaburi (wafat 938) dan oleh pemeluk Syafi'i didirikan disana sebuah mesjid yang indah sekali yaitu pada tahun 1207. Dengan demikian tersebarlah mazsab ini di Timur.
Sekarang umumnya pemeluk mazhab ini terdapat di Mesir, Palestina, Armenia, Persia, Ceylon, Indonesia, Cina, Australia, Yaman, Adan, Hadramaut, Philipina, begitu juga di Hejaz, Syam dan Iraq. Di India terdapat kira-kira satu milyun jiwa pemeluk Mazhab Syafi'i.[21]
4)      Aliran hanbali
Kelahiran Ahmad ibn Hanbal (164-241 H)
Nama lengkap Ahmad ibn Hnbal adalah Abu ‘Abd Allah Ahmad ibn Hanbal ibn Hilal ibn Asad al-Syaibani al-Marzawi. Ia dilahirkan di Bagdad pada tahun 164 H. Beliau dikenal sebagai imam hadis dan memiliki kitab al-musnad.[22]
Dasar mazhabnya terletak atas empat : pertama Nas, kedua fatwa sahabat, ketiga Hadis (mursal dan dhaif) dan keempat qiyas.
Pengikutnya sangat sedikit dan kebanyakan pengikut-pengikutnya itu tidak mau berijtihad menurut mazhabnya, Ibnu Kaldun menerangkan, bahwa sebabnya Mazhab Ibn Hanbal kurang tersiar dimuka bumi, ialah karena sempitnya berijtihad dalam mazhab itu. Mazhab ini lahir di Baghdad tempat lahirnya Imam Ahmad. Pengaruhnya kelihatan dalam abad ke-IV H .
Di Mesir mazhab ini baru dikenal orang pada abad ke-VII. Yang membawa mazhab ini kesana ialah pengarang kitab yang bernama „Kitabul Umbah" yaitu Al-Hafiz Abdul Ghani Al-Makdisi. Mazhab ini tidak tersebut sebagai mazhab2 yang lain, cuma di Nejid saja. Juga terdapat sedikit dari pemeluknya di Kotter dan Bahrain.[23]
5)      Aliran Ja’fari
Mazhab ini didirikan oleh Imam Jafar Shadiq, seorang Tabi'in tokoh besar, ahli hadis dan mujtahid mutlak, menurut Kulayni antara 83 — 148 H. sebagai yang sudah kita ceriterakan. Ibunya bernama Farwah anak Al-Qasim anak cucu dari Abu Bakar As-Siddiq, Khalifah I sesudah Nabi. Konon itu sebabnya maka Ja'far memakai nama dibelakangnya Sadiq, dan tidak pernah menyerang tiga Khalifah sebelum Ali bin Abi Thalib.[24]
Dasar-dasar hukum Madzhab ini sebagaimana digambarkan oleh Muhammad Yusuf Musa, sebagai berikut:
“Pertama, Syi’ah menafsirkan Al-Quran secara sepihak sesuai dengan prinsip-prinsip Syiah dan tidak menyukai tafsiran orang lain dan tidak memegang hadis-hadis selain dari imam mereka; kedua, Syi’ah tidak menerima, hadis- hadis, ushul atau cabang, kecuali sesuai dengan thariqat imam mereka karena derajat lebih tinggi dan ketiga, Syiah tidak mempergunakan ijma dan ra’yu, karena imam mereka lebih ma’sum [terjaga dari salah] dari berpendapat bahwa sesungguhnya agama tidak diambil, kecuali dari Al-Quran, Sunnah Rasulullah, dan perkataan para imam ma’sum [imam Syi’ah].”[25]
Imam Ja'far, dan kemudian menjadi guru-guru besar, dan imam-imam mazhab yang terpenting, seperti Yahya ibn Sa'id al-Anshari, Ibn Juraidj, Malik bin Anas, As-Sauri, Ibn Uyaynah, Abu Hanifah, Syu'bah, Abu Ayyub As-Sajastani dll, yang kemudian mendapat kehormatan dan keutamaan dalam Islam karena beroleh ilmu daripada Imam Ja'far As-Shadiq (Asad Haidar, I : 9-30).
Golongan Ja'far Sadiq ini biasa dinamai Imamiyyah Itsna Asyariyah, yaitu suatu golongan Syi'ah yang mengaku, bahwa imam mereka yang sah terdiri dari 12 orang, sebagaimana yang sudah kita sebutkan dalam pembicaraan mengenai golongan Syi'ah ini.
Prof. T. M . Hasbi As Shiddieqy dalam kitabnya "Hukum Islam" (Jakarta, 1962) banyak menulis tentang Syi'ah, dan berkata tentang Ja'far Sadiq sbb. : „Orang-orang Syi'ah yang menobatkan dia menjadi imam, tiada memperoleh kepuasan hati dari padanya, karena ia  tidak menghendaki dan tidak menyukai dirinya dinobatkan itu. Ia ini adalah seorang ulama yang sangat berbakti kepada Allah. Ia tidak suka diperbudak-budakan kaum Syi'ah. Lantaran demikan, ia dapat mengarungi samudera hidupnya dengan aman dan tenang, tidak menjadi kebencian khalifah-khalifah yang menguasai negeri. Dan yang perlu ditegaskan, bahwa ia ini pemuka dan pentasis fiqh Syi'ah yang kemudian pecah kepada beberapa mazhab".[26]
Madzhab mereka tercermin dalam pendapat yang mereka tuangkan dalam bukubuku mereka, mereka imla`kan pada murid-murid mereka atau mereka jawab atas pertanyaan dan permintaan fatwa. Kemudian teman-teman dan murid-murid mereka membawanya (menyebarkannya).
Kemudian para pengikut imam inilah yang memiliki peran besar dalam memperluas ilmu para imam tersebut. Mereka menghafal dan menukilnya (baca: menyebarkannya). Seandainya mereka tidak melakukan hal itu, niscaya madzhab mereka akan lenyap. Lihatlah apa yang terjadi pada seorang ulama dari Mesir, al Muhaddits al Faqih Al Laits bin Sa’d –semoga Allah Ta’aalaa merahmatinya-. Banyak ulama yang lebih mendahulukan beliau dari Imam Malik. Namun para pengikutnya tidak memelihara ilmunya. Imam Syafi’i -semoga Allah Ta’aalaa merahmatinya- berkata: “Al Laits lebih mendalam pemahamannya dari Imam Malik, namun para pengikutnya tidak menjalankan kewajiban mereka (menjaga dan memelihara ilmunya).”
Lihatlah yang dilakukan oleh para pengikut madzhab Imam Abu Hanifah, mereka juga turut berperan dalam membangun pondasi madzhab sekaligus mematangkannya. Buku buku Madzhab Hanafiyah menyebutkan bahwa para pengikut Imam Abu Hanifah yang juga mengarang buku seperti beliau sebanyak empat puluh orang. Mereka berbeda pendapat dalam menjawab permasalahan. Kemudian mereka mengajukan jawaban tersebut kepada beliau dan menanyakannya. Baliaupun menjawab dengan detail. Kemudian mereka membbiarkan masalah tersebut selama tiga hari setelah itu mereka menuliskannya dalam Diwan. Nampaknya Diwan yang berisi masalah-masalah fiqih yang merupakan ijtihad Abu Hanifah dan para pengikutnya itulah mencerminkan pokok-pokok karangan fiqih yang disusun oleh para pengikut abu Hanifah dikemudian hari.
Buku-buku pegangan Madzhab Hanafiyah tidak membatasi madzhab pada pendapat Abu Hanifah. Pendapat madzhab bisa berupa pendapat Abu Hanifah, pendapat Abu Yusuf, pendapat Muhammad Hasan, pendapat Zufar atau pendapat Hasan bin Ziyad.
Faktor-faktor yang melatarbelakangi timbulnya madzhab
Di samping adanya pengaruh turun temurun dari ulama-ulama yang hidup sebelumnya tentang timbulnya madzhab tasyri’, ada beberapa faktor yang mendorong timbulnya madzhab, di antaranya:
1. Karena semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam sehingga hukum Islampun menghadapi berbagai macam masyarakat yang berbeda-beda tradisinya.
2. Munculnya ulama-ulama besar pendiri madzhab-madzhab fiqih berusaha menyebarluaskan pemahamannya dengan mendirikan pusat-pusat study tentang fiqih, yang diberi nama Al-Madzhab atau Al-Madrasah yang diterjemahkan oleh bangsa barat menjadi school, kemudian usaha tersebut dijadikan oleh murid-muridnya.
3. Adanya kecenderungan masyarakat Islam ketika memilih salah satu pendapat dari ulama-ulama madzhab ketika menghadapi masalah hukum. Sehingga pemerintah (kholifah) merasa perlu menegakkan hukum Islam dalam pemerintahannya.
4. Permasalahan politik, perbedaan pendapat di kalangan muslim awal trntang masalah politik seperti pengangkatan khalifah-khalifah dari suku apa, ikut memberikan saham bagi munculnya berbagai madzhab hukum Islam.[27]
4.      Madzhab yang terlupakan
a.       Madzhab Al-Auzaa’i
Pendirinya Abu Amr Abdurrahman Al-Auzaa’i (88-157 H/707-774 M). Madzhab ini mula-mula diikuti di Syria dan Andalusia. Kemudian dengan kedatangan Madzhab Maliki atau Syafi’i, Madzhab Auzaa’i tidak lagi diikuti. [28]
b.      Madzhab Dzaahiri
Tokoh pendirinya adalah Dawud Ibn Ali (w.270H/883 M) lahir di Kufah pada awal abad ketiga Hijriyah. Disebut madzhab Dzahiri karena berpegang kepada dhahir nash Al-Qur’an dan Sunnah. Tidak menerima Ijma kecuali Ijma shahabat dan tidak menerima qiyas kecuali qiyas nash. Pengikut yang terkenal adalah Ibnu Hassan yang menyusun kitab fiqhnya berjudul Al-Muhallas (sebelas juz), dan ushul fiqhnya berjudul Al-Ihkam fii Ushuuli Ahkam dan lain-lain.[29]
c.       Madzhab al-Tsawri.
Tokoh madzhab ini adalah Abu Abd Allah Sufyan bin Masruq al-Tsawry. Lahir di Kufah tahun 65 H dan wafat di Bashrah tahun 161 H. Imam Ahmad menyebutnya sebagai seorang faqih, ketika Ahmad menyebut dirinya hanya sebagai ahli hadits. Ia berguru pada Ja'far al-Shadiq dan meriwayatkan banyak hadits. Ayahnya termasuk perawi hadits yang ditsiqatkan Ibn Ma'in. Berkali-kali al- Manshur mau membunuhnya, tetapi ia berhasil lolos. Ketika ia diminta menjadi qadhi, ia melarikan diri dan meninggal di tempat pelarian. Pahamnya diikuti orang sampai abad IV Hijrah.[30]
III.             Kesimpulan
Untuk periode keemasan tasyri’ Islami itu terjadi pada abad kedua Hijriyah dan berakhir sampai abad keempat Hijriyah atau hampir 250 tahun.
Berkembang pesatnya ilmu pengetahuan di dunia Islam disebabkan oleh hal-hal berikut :
-          Banyaknya mawali yang masuk Islam
-          Berkembangnya pemikiran karena luasnya ilmu pengetahuan
-          Adanya upaya umat Islam untuk melestarikan al-Qur’an dengan dua cara, yaitu dicatat (dikumpulkan dalam mushaf) dan dihafal.
Proses lahirnya madzhab adalah usaha para pengikut atau pendukung untuk menyebarkan hasil ijtihad imamnya. Penyebaran ini dilakukan dengan metode lisan dan juga tulis (pembukuan fiqih). Kemudian, pengikut hasil ijtihad itu semakin banyak, membentuk suatu komunitas dan disebutlah komunitas tersebut bermadzhab imam ini dan itu.
Faktor-faktor yang melatarbelakangi timbulnya madzhab adalah sebagai berikut:
1.      Karena semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam sehingga hukum Islampun menghadapi berbagai macam masyarakat yang berbeda-beda tradisinya.
2.      Munculnya ulama-ulama besar pendiri madzhab-madzhab fiqih berusaha menyebarluaskan pemahamannya dengan mendirikan pusat-pusat study tentang fiqih, yang diberi nama Al-Madzhab atau Al-Madrasah yang diterjemahkan oleh bangsa barat menjadi school, kemudian usaha tersebut dijadikan oleh murid-muridnya.
3.      Adanya kecenderungan masyarakat Islam ketika memilih salah satu pendapat dari ulama-ulama madzhab ketika menghadapi masalah hukum. Sehingga pemerintah (kholifah) merasa perlu menegakkan hukum Islam dalam pemerintahannya.
4.      Permasalahan politik, perbedaan pendapat di kalangan muslim awal trntang masalah politik seperti pengangkatan khalifah-khalifah dari suku apa, ikut memberikan saham bagi munculnya berbagai madzhab hukum Islam.
Madzhab yang terlupakan: Madzhab Al-Auzaa’i, Madzhab Dzaahiri, Madzhab al-Tsawri.
IV.             Penutup
Demikian makalah ini kami susun, mohon maaf atas segala kesalahan dalam penulisan maupun materi yang kami sajikan, kami berharap adanya kritik dan saran yang kontruktif demi lebih baik dan sempurnanya makalah yang kami susun.


DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Siradjuddin, K.H.Sejarah & Keagungan Madzhab Syafi’i,Jakarta:Pustaka Tarbiyah Baru,2007,cet.15
Atjeh,. Aboebakar, H. Dr Prof. Ilmu Fiqh Islam dalam Lima Madzhab,Jakarta: Islamic Research Institute,1977,h.30,Pdf
Djatnika, Rachmat, H. Dr, Perkembangan Ilmu Fiqh di Dunia Islam,Jakarta:Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama,1986
Hasbiyallah, M. AG, H., Perbandingan Madzhab, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Kementerian Agama RI:Jakarta,2012,h.20,Pdf
Khallaf, Abul Wahhab, Ikhtisar Sejarah Pembentukan Hukum Islam, Surabaya : PT Bina Ilmu, 1978
Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2000
Yatim, Badri , Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2008



[1] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2000,h.67
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2008.
[3] Abul Wahhab Khallaf, Ikhtisar Sejarah Pembentukan Hukum Islam, Surabaya : PT Bina Ilmu, 1978.
[4] Badri Yatim, op. Cit
[6] H. Hasbiyallah, M. AG, Perbandingan Madzhab, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Kementerian Agama RI:Jakarta,2012,h.20,pdf.
[7] Op.cit, Jaih Mubarok,h.70-71
[8] Loc.cit, H. Hasbiyallah, M. AG, h.20
[9] Loc.cit, Jaih Mubarok, h.71
[10] Dr. H. Rachmat Djatnika, Perkembangan Ilmu Fiqh di Dunia Islam,Jakarta:Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama,1986,h.15
[11] Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh, Ilmu Fiqh Islam dalam Lima Madzhab,Jakarta: Islamic Research Institute,1977,h.30,Pdf.
[12] Ibid,h.30
[13] Ibid,h.30
[14] Ibid,h.30-34
[15] Op.cit, Jaih Mubarok,h.79
[16] Op.cit, Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh,h.33.
[17] Ibid,h.33-34.
[18] Op.cit, Jaih Mubarok,h.101
[19] K.H. Siradjuddin Abbas, Sejarah & Keagungan Madzhab Syafi’i,Jakarta:Pustaka Tarbiyah Baru,2007,cet.15,h.140.
[20] Op.cit, Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh,h.37-38
[21] Ibid, h.40-41.
[22] Op.cit, Jaih Mubarok,h.115
[23] Op.cit, Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh,h.42
[24] Ibid,h.24
[25] Op.cit, H. Hasbiyallah, M. AG,h.80
[26] Ibid,h.28-29.
[27] Op.cit, H. Hasbiyallah, M. AG,h.22-23.
[28] Op.cit, Dr. H. Rachmat Djatnika,h.21
[29] Ibid,h.21-22
File Under:

0 komentar: